Selamat datang di situs resmi Pondok Pesantren Mahasiswa Nahdhatul Ulama

RE-EPISTEMOLOGI PEMAHAMAN ISLAM (Bagaimana Memahami Islam)


Bagaimana Memahamai Islam ?
oleh: Kyai Mashdar dalam Bukunya Teologi Populis

T
ERCATAT sebuah pertanyaan sederhana, “Apakah boleh orang mendiskusikan agama, dalam hal ini Islam? Pertanyaan ini muncul karena umumnya diyakini bahwa Islam merupakan sistem ajaran yang sudah lengkap, paripurna dan tidak kurang suatu apa. Tidak ada satu persoalan pun, besar maupun kecil, yang mencolok maupun yang remang-remang, yang belum ada jawabannya. Semuanya telah sempurna sebagaimana ditegaskan Allah dalam al-Qur’an,
            Alyauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati wa radlitu lakum al-Islama dina/Pada hari ini telah Aku lengkapkan bagimu agamamu, dan Aku sempurnakan atasmu nikmat dari-Ku, serta Aku restui bagimu Islam sebagai agamamu.” (QS AL-Ma’idah [5]: 3)
            Berdasarkan ayat ini, kiranya bisa dimengerti jika orang berpendirian bahwa yang tersedia bagi umat Islam berkenaan dengan agamanya tinggal satu pilihan saja, yaitu mengamalkan apa yang menjadi ketentuan agamanya. Tidak perlu lagi diskusi, halaqah atau sarasehan. Sebagai peroses pencarian, diskusi hanya relevan untuk persoalan yang masih belum final, masih di tawar-tawar. Padahal, sebagaimana ditegaskan dalam ayat diatas, segala sesuatu yang berkaitan agama sudah disempurnakan adanya.

            Bagaimana kita menanggapi pandangan seperti ini? Pertama-tama kita perlu menggaris-bawahi bahwa Islam sebagai ‘al-din’, atau dalam bahasa kita agama, memang sudah kamil, sempurna dan paripurna. Selain dinyatakan oleh al-Qur’an dalam surah al-Maidah tadi, dalam ayat lain juga disebutkan bahwa disana (al-Qur’an) tersedia penjelasan untuk segala hal,
            “Wanazzalna ‘alaika al-kitaba bi al-haqq tibyanan likulli syai/Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS: al-Nahl [16]:89).

            Kalau begitu, kenapa kita masih juga mendiskusikan, masih melakukan pencarian, masih perlu halaqah atau sarasehan soal agama? Bukankah “ijtihad” yang dilakukan oleh para ulama terkemuka bahkan sejak zaman sahabat NabiMuhammad SAW, adalah bentuk pencarian yang paling serius? Mengapakah mereka masih saja melakukan ijtihad? Apakah kita bisa menuduh para ulama yang berijtihad sebagai orang-orang yang tidak percaya terhadap kesempurnaan Islam. Fakta bahwa disatu pihak para ulama berijtihad dan dilain pihak ada ayat yang mengatakan al-Qur’an sudah sempurna, bisa membuat tanda tanya; haruskah salah satu diingkari? Islam sempurna atau kita berijtihad?”
            Guna melepaskan diri dari pertanyaan-pertanyaan dikotomis tadi, ada dua hal yang boleh kita sepakati. Pertama,kesempurnaan ajaran al-Qur’an seperti ditegaskan diatas, bukanlah pada tataran teknis yang bersifat detail, terperinci dan juz’iyyah-nya, melainkan pada tataran prinsipil dan fundamental. Kedua, ajaran-ajaran prinsipil yang dimaksud dalam al-Qur’an, selaku kitab suci agama, adalah ajaran spiritualitas dan moral, ajaran tentang mana yang baik (dan mana yang buruk) untuk kehidupan manusia sebagai hamba Allah yang berakal-berbudi.
            Sebagai hudan atau acuan moral dan etik yang bersifat dasariah, al-Qur’an sepenuhnya sempurna, tidak kurang suatu apa. Persoalan apapun yang muncul dalam kehidupan manusia yang dinamis dan terus berubah bisa dicarikan jawabannya (dari sudut moral) dengan mengembalikan pada ajaran al-Qur’an yang prinsipil tadi. Inilah yang dimaksud bahwa al-Qur’an merupakan kitab sempurna yang menjelaskan segala hal. Jadi, jangan sekali-kali kita bayangkan bahwa kesempurnaan al-Qur’an harus dibuktikan dalam kemampuannya menjawab persoalan juz’iyyah(partikular) apalagi yang bersifat teknis-operasional.
            Lagi pula, penjelasan moral atau etik yang tersedia dalam al-Qur’an tidak selalu bersifat terapan terhadap semua kasus etik yang terjadi dalam kehidupankita. Mengapa? Karena al-Qur’an sendiri bukan kamus atau ensiklopedia. Sehingga untuk menangkap petunjuk al-Qur’an atas persoalan-persoalan etik yang kita hadapi dalam kehidupan nyata, lebih dulu kita harus mengenali prinsip-prinsip universal yang dicanangkannya. Ikhtiar mempersambungkan prinsip ajaran yang bersifat universal pada kasus-kasus kehidupan yang juz’iyyah itulah yang disebut ‘ijtihad’, yang harus dipikul oleh ketajaman nalar dan kejujuran hati manusia sebagai hamba-Nya. Dalam hasil ijtihad (sebagai proses intelektual untuk menurunkan ketentuan universal pada kasus-kasus yang bersifat partikular sekaligus kerangka teknis-operasionalnya) itulah yang disebut fiqh.

Qath’iy dan Dhanniy
            Yang sering luput dari pengamatan kita adalah baik dalam al-Qur’an atau al-Hadits, dua jenis keputusan atau ajaran (yang universal atau partikular) ada disana. Pembedaan ini penting supaya kita tidak terjebak untuk memutlakkan semua ketentuan yang ada disana. Ajaran yang universal dan mengatasi dimensi ruang dan waktu (mutlak) itulah yang disebut al-Qur’an sendiri (Ali Imran [3]: 7) dengan istilah “muhkamat”, atau meminjam bahasa ushul al-fiqh disebut qath’i. Sementara yang bersifat juz’iyyah(partikular dan teknis-operasional), yang karenanya terkait dengan ruang dan waktu, disebut “mutasyabihat” atau “dhanniy”.2
            Setahu saya konsep qath’iy dan dhanniy selama ini tidak begitu. Qath’iy adalah ajaran (dalam al-Qur’an atau hadis sahih) yang dikemukakan dalam teks bahasa yang tegas (sharih), sedangkandhanniy merupakan ajaran yang dikemukakan teks bahasa yang tidak tegas, yang ambigu atau bisa diartikan lebih dari satu pengertian.”3 Inilah konsep yang telah membuat pemahaman keagamaan kita terlalu harfiah dan pada akhirnya membuat fiqh kehilangan watak dinamisnya”.
            “Yang pertama, ajaran qath’iy ajaran yang bersifat prinsip dan absolut, sebutlah misalnya ajaran-ajaran tentang kebebasan dan pertanggungjawaban individu4; kesetaraan manusia (tanpa memandang perbedaan kelamin, warna kulit, atau suku bangsa) dihadapan Allah5Juga ajaran tentang keadilan6; persamaan manusia didepan hukum7; tidak merugikan diri sendiri dan orang lain8; kritik dan kontrol sosial9; menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan10; tolong-menolong untuk kebaikan11; yang kuat melindungi yang lemah12; musyawarah dalam hal urusan bersama13; kesetaraan suami-istri dalam keluarga14; dan saling memperlakukan dengan makruf (mu’asyarah bil al-makruf) diantara mereka berdua.15
            Semua ajaran-ajaran ini bersifat prinsipil dan fundamental; kebenaran dan keabsahannya pun tidak memerlukan argumen diluar dirinya. Nila-nilai tersebut tadi membenarkan dan mengabsahkan dirinya sendiri. Sebutlah sebagai misal ‘menepati janji’ atau ‘berbuat adil’. Secara moral kita semua terikat kepadanya bukan karena alasan atau pertimbangan apapun, melainkan karena pada dasarnya akal budi manusia ditakdirkan menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran sebagai prinsip hidupnya.
            “Prinsip keadilan serta prinsip memperlakukan antara suami-istri dengan makruf, misalnya, tidak terikat oleh ruang dan waktu; dimanapun dan dalam keadaan bagaimanapun, keadilan dan mu’asyarah bi al-makruf antara suami-istri mutlak harus ditegakkan. Kalau di kalangan para ulama fiqh ada istilah ajaran qath’iy, yaitu ajaran agama yang tidak memerlukan ijtihad, maka ajaran-ajaran yang beginilah yang paling tepat disebut qath’iy. Tak seorangpun perlu berijtihad untuk mengetahui hukum (:status etik)-nya menegakkan keadian diantara sesama dan menjalankan mu’asyarah bi al-makruf dalam kehidupan keluarga. Kebenaran ajaran yang bersifat kategoris itu sangat gamblang bagi siapapun, dimanapun, dan kapanpun.
Jadi, yang dimaksud dengan ajaran qath’iy adalah ajaran-ajaran agama yang berupa nilai-nilai universal, fundamental? Ya, tidak bisa lain. Termasuk ajaran qath’iy adalah ketentuan-ketentuan normatif dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi tentang baik-buruk, dan halal haram.
            Kemudian, kategori yang kedua adalah dhanniy. Dhanniy secara harfiah berarti persangkaan atau hipotesis, yang merupakan kebalikan dari yang qath’iy(kategoris). Yakni ajaran agama baik dari al-Qur’an maupun Hadits Nabi yang bersifat jabaran (implementatif) dari prinsip-prinsip yang muhkam atau qath’iy dan universal tadi. Ajaran yang dhanniy ini tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri, tidak self evident dalam bahasa filsafatnya. Karena itu, berbeda dengan yang qath’iy, ajaran dhanniy terikat oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi. Misalnya, tadi telah disebutkan bahwa salah satu prinsip yang harus ditegakkan adalah ‘keadilan’, dimana, setiap orang harus dijamin hak-hak asasinya sebagai manusia.
            Dalam khazanah pemikiran Islam, hak-hak dasar manusia yang wajib di lindungi itu sekurang-kurangnya ada lima. Yakni, (i) hak hidup (hifdh al-hayah); (ii) hak berkeyakinan/beragama (hifdh al-din); (iii) hak berfikir termasuk didalamnya berpendapat (hifdh al-‘aql); (iv) hak atas sarana kehidupan atau properti (hifdh al-mal); dan (v) hak untuk berketurunan (hifdh an-nasl)16. Dari yang lima ini bisa diperluas atau diperinci lebih detail lagi.
            Sementara itu, dalam realitas sosial tidak semua orang dapat terpenuhi atau mampu memenuhi hak-haknya. Hal itu terjadi karena adakecenderungan abadi.
            Dimana sebagian orang mengambil terlalu banyak dengan akibat orang lain tidak kebagian, atau kebagian terlalu sedikit.Dari fakta inilah maka diandaikan adanya pihak ketiga yang memiliki kekuatan lebih dan mampu memaksa orang-orang yang telah mengambil terlalu banyak agar bersedia mengembalikan hak-hak mereka yang tidak kebagian. Kekuatan pihak ketiga itulah yang dikonsepsikn oleh Islam dengan hukumah, imarah atau pemerintahan. Sampai disini, perihal mutlaknya ditegakkan keadilan dan perlunya pemerintahan yang efektif sebagai instrumennya, kiranya semua orang bisa sepakat, inilah hal qath’iy, niscaya, dan tidak lagi memerlukan ijtihad.
            Selebihnya, tentang apa yang kita maksudkan dengan ‘keadilan’ dalam konteks ruang dan waktu tertentu serta bagaimana bentuk pemerintahan yang harus kita bangun untuk mewujudkannya, semua itu adalah persoalan dhanniy, persoalan ijtihadi yang bisa berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, antara suatu waktu dengan waktu lain. Dengan demikian, dari sudut pandang Islam, suatu sistem pemerintahan (sebagai perkara dhanniy, ijtihadi) hanya bisa dihukumi baik atau buruk pada kenyataan sejauh mana ia memenuhi tanggungjawabnya untuk menegakkan keadilan tadi. Apapun nama dan label sebuah pemerintahan, sejauh mampu memenuhi tuntutan keadilan bagi segenap rakyatnya, terutama  yang lemah dan tidak kebagian, dalam pandangan Islam adalah sah dan perlu didukung. Sebaliknya, apapun nama dan labelnya jika dalam kenyataannya justru mengingkari hak-hak rakyat lemah dan mengabaikan tuntutan keadilan, pemerintahan yang demikian itu adalah ‘batal’ dan harus dikoreksi.
            Contoh lain, sebut misalnya prinsip perlindungan atas pemilikan yang sah (hifdh al-mal). Dari ajaran yang qath’iy ini lahir ketentuan normatif tentang haramnya mencuri dan sekaligus perlunya hukuman yang berat atas pencurian. Terhadap kedua prinsip ini, perlindungan hak pemilikan yang sah dan haramnya mencuri, semua orang apapun keyakinan dan suku bangsanya bisa sepakat. Tapi, menyangkut bagaimana pelanggaran hak (pencurian) bisa ditekan seminimal mungkin, hukuman semacam apa yang perlu dikenakan agar penyerobotan (pencurian) hak tidak gampang terjadi, diantara kita bisa berbeda pendapat. Inilah masalah dhanniy, atau ijtihadiy yang menjadi porsinya fiqih. Dalam salah satu ayatnya, al-Qur’an menetapkan ‘hukum potong tangan’ atas pencuri, sementara pihak lain bisa saja mengatakan sanksi ‘potong tangan’ itu terlalu keras, atau malah kurang keras.Jadi hukum potong tangan itu dhanniy? Bukan qath’iy? Dan karna itu tidak mutlak?
Menurut harfiahnya, ayat hukum potong tangan (QS al-Ma’idah [5]:38) itu dikenakan atas pencuri laki-laki maupun perempuan, tanpa memilah-milah dalam keadaan apapun. Akan tetapi, nyatanya Rasulullah sendiri kemudian memberi catatan: ‘apabila pencurian itu melebihi sepuluh dirham’17. Dan, kemudian, ditangan Khalifah Umar r.a. diberi catatan lagi: ‘tidak untuk memperkaya diri.’ Artinya, jika pencurian dilakukan karena terpepet, misalnya karena kelaparan yang berat, maka hukum potong tangan pun bisa diubah, dengan hukuman bentuk lain, atau bahkan dibebaskan sama sekali18.
Ijtihad Umar r.a. ini persisnya ketika dua orang budak milik Habib bin Abi Bhaltha’ah mencuri seekor unta tetangganya. Ternyata dari penyidikan diketahui bahwa pencurian itu terpaksa dilakukan karena mereka diterlantarkan oleh majikannya. Maka Khalifah Umar pun memutuskan membebaskan budak-budak itu dari tuntutan hukum bahkan majikanlah yang diharuskan menggantinya sebesar 400 dirham.
Dengan demikian, jelas bagi kita bahwa mutlak (qath’iy) adalah prinsip perlindungan pemilikan (property) yang sah dan haramnya mencuri sebagai pelanggaran terhadap pemilikan yang sah itu. Yang demikian ini berlaku di zaman manapun dan dalam masyarakat apapun. Orang jawa misalnya, baik kalangan muslim maupun yang non-muslim, secara turun-temurun, mengenal molimo(m-5) sebagai pelanggaran moral: Madon(zina), main (judi), madat (mabuk/minum keras), maling (mencuri), dan mateni (membunuh). Semuanya itu adalah kejahatan dan pelanggaran moral yang tidak pernah dibenarkan oleh siapapun, bahkan oleh si pelanggarnya sendiri.
Dalam hubungannya dengan kejahatan ‘mencuri,’ hukum potong tangan hanya merupakan upaya praktis yang diduga efektif untuk membuat jera si pencuri dan sekaligus membuat orang lain untuk berpikir seratus kali untuk berbuat kejahatan serupa. Sebagai ajaran yang bersifat teknis,hukum potong tangan tentu saja bersifat dhanniy, hipotesis. Tidak semua orang bisa sepakat bulat perihal kelaikan dan efektivitas potong tangan sebagai cara mencegah pencurian, seperti disebutkan di atas, seperti sepakatnya semua orang atas haramnya mencuri. Bahkan kenyataannya, seperti disebutkan diatas, dalam pemikiran Islam sendiri, tidak semua pencuri dalam keadaan apapun harus dipotong tangannya.
Inilah cara memahami hukum Islam yang menurut saya lebih bisa dipertanggungjawabkan. Cara memahami Islam secara dinamis dan berstuktur dengan mengacu pada prinsip-prinsip dan fundamental ajaran, baru kemudian kita turun pada tataran ajaran yang bersifat jabaran dan operasional. Dengan pendekatan seperti ini secara konsisten kita bisa menjunjung tinggi nilai-nilai dasar agama yang universal dan mengatasi dimensi ruang dan waktu, tanpa perlu terpasung pada kebekuan hal-hal yang bersifat teknis, instrumental dan kondisional.
Yang jelas, ketentuan-ketentuan agama yang dalam fiqh disebut sebagai ketentuan hukum (kecuali ketentuan etik-normattif tentang baik buruk, halal dan haram), adalah dhanniy. Karena sifatnya dhanniy, relatif, ia terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Karena itu hukum potong tangan bagi pencuri, lempar batu bagi pezina, presentase pembagian waris, monopoli hak talak bagi suami, keterlibatan wali di dalam nikah, dan ketentuan-ketentuan teknis lain yang bersifat non-etis, masuk kategori yang dhanniy ini.
            Jadi, ketentuan-ketentuan itu, bukan saja bisa dimodifikasi, disesuaikan, tapi telah dilakukan oleh para ulama terdahulu. Dan dalam al-Qur’an sendiri relativitas ajaran/hukum atau syari’at yang bersifat teknis ini diakui dengan begitu jelas.
            Likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhaja/Untuk tiap-tiap umat diantara kalian, Kami berikan syari’at dan dan jalan yang terang.” (QS Al-Ma’idah [5]: 48).
            Apa pendirian seperti itu tidak mendorong pada relativisme yang berlebihan? Maksudnya, kalau semuanya bisa berubah, lalu acuan kita apa?
            Persoalannya memang tidak sederhana, tidak hitam putih.Seperti juga ajaran Islam tidak hitam putih. Islam adalah titik keseimbangan antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Dalam konteks perbincangan kita, Islam adalah titik keseimbangan antara kecenderungan ‘serba pasti’ (absolitisme) di satu pihak dan kecenderungan ‘serba tidak pasti’ (relativisme) dipihak lain. Al-Qur’an mengidealkan umat Islam sebagai umatan wasatha’ yakni umat yang seharusnya mampu mengikhtiarkan keseimbangan antara dua ekstrema-ekstrema tadi (QS Al-Baqarah[2]: 143).
            Tapi memang, menemukan dan bertahan dalam titik keseimbangan tidak gampang; umumnya orang cenderung menghambur keujung kanan atau keujung kiri. Umat Islam, khususnya dalam memahami ajaran agamanya, terus terang rata-rata telah terjatuh pada ekstrem kanan, dalam arti menuntut segala sesuatu harus serba pasti. Bias kehati-hatian (ikhtiyat), konservatifitas berlebihan yang banyak dianut kalangan fuqaha kita berperan besar dalam hal ini. Sehingga banyak hal yang sebenarnya tidak pasti, seperti  hasil ijtihad para ulama pun diberi hukum yang pasti. Akhirnya kita pun terperangkap pada keharusan memilih dua hal yang sama-sama tidak masuk akal dan naif. Yakni, segala sesuatu harus serba pasti, atau tidak ada yang pasti sama sekali. Padahal yang sebenarnya terjadi, dan ini alami sesuai dengan hukum keseimbangan dalam titah Allah, bahwa dibalik perubahan sebenarnya ada kepastian; dan diluar kepastian ada perubahan.
            Maka, kembali pada pertanyaan tadi, dibalik ketentuan-ketentuan teknis-operasional dalam bidang sosial-muamalah yang berubah dan dinamis, jelas ada yang bersifat tetap dan qhat’iy, yakni prinsip keadilan dan kemaslahatan.
            Oleh sebab itu, bahasa yang tepat untuk menggambarkan perubahan (yang mengacu pada standar nilai yang tetap, qhat’iy) bukanlah kesemrawutan, melainkan gerak atau dinamika.
            Maksudnya, seperti hukum potong tangan dan aturan syari’at yang bersifat teknis lainnya, bukan berarti harus kita ubah setiap saat semata-mata karena kita memutlakkan perubahan. Yang ingin saya katakan adalah bahwa perubahan atas ketentuan-ketentuan syar’iy (baik dari al-Qur’an maupun dari Sunnah Rasul, dan apalagi ijtihad ulama) yang bersifat teknis secara teoritis ‘bisa’ --bukan ‘harus’!
            Persoalan kapan ia disesuaikan atau dipertahankan persis sebagaimana petunjuk harfiahnya, sepenuhnya bergantung pada pertimbangan kita juga. Jika dalam perhitungan akal-budi kita, ketentuan-ketentuan itu (misalnya potong tangan) masih bisa menjamin tujuan hukum, yakni keadilan dan kemaslahatan,dibanding dengan pilihan teknis yang lain (seperti memenjarakan di LP), maka biarlah ketentuan itu kita pertahankan. Sebaliknya, jika hukuman itu, karena kondisi dan situasi tertentu, dirasa kurang mencerminkan cita keadilan/kemaslahatan, maka seharusnya kita bisa sesuaikan, kita modifikasi. Dengan demikian, keputusan untuk mempertahankan atau mengubah, tidak bisa kita lakukan semata-mata dengan argumen apriori, tetapi harus digunakan pertimbangan akal-budi, yakni kemaslahatan dan rasa keadilan yang bisa kita bicarakan dan sepakati bersama melalui musyawarah secara demokratis, jujur, setara dan terbuka.
            Saya bisa mengerti, bahwa dengan segera akan muncul kekhawatiran terhadap kemampuan akal-budi manusia dalam menentukan mana yang adil, mana yang kurang adil, mana yang benar dan mana yang tidak benar. Akan tetapi, inilah kekhawatiran klasik yang muncul dari ambivalensi yang keterlaluan tentang manusia, antara kecenderungan untuk mengidealisasikan manusia untuk selalu berbuat benar, dan kecenderungan mendiskreditkan manusia dengan menuduhnya sebagai makhluk yang selalu saja berbuat salah. Seperti kita rasakan bersama, ambivalensi adalah refleksi dari ketidak percayaan yang mengendap dibawah sadar terhadap potensi akal-budi manusia yang selalu dikhutbahkan oleh kalangan penguasa doktrin agama-agama.
Pada dasarnya, para pemuka agama tahu, bahwa kepercayaan pada potensi akal-budi manusia merupakan satu prinsip yang fundamental. Kedatangan firman atau wahyu Tuhan sendiri, pada dasarnya, merupakan affirmasi atas kemampuan akal-budi manusia dalam membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang haq dan yang bathil (al-Syams [91]: 9). Akan tetapi, demi mempertahankan otoritasnya, para pemuka agama telah memutar-balikan logika, dengan megatakan, bahwa firman Tuhan datang justru karena akal-budi manusia yang tidak bisa lagi diandalkan. Hanya dengan firman, bukan dengan akal-budi, manusia yang bisa diselamatkan. Dan, karena dalam kenyataan teologis, firman, kini ditangan mereka, maka secara praktis-sosiologis, penyelamatan pun di klaim hanya bisa dilakukan oleh mereka. Sehingga proses penyelamatan yang semula memusat pada akal-budi yang di perkuat oleh firman, kini bergeser ketangan para agamawan dengan memperalat firman.
            Mengacu pada al-Qur’an, anggapan yang mendiskreditkan (akal-budi) manusia tidak-lah pada tempatnya (al-Rum[30]:30). Manusia, memang bukan makhluk yang serba benar, tapi bukan pula makhluk yang hanya bisa berbuat kesalahan. Kebenaran mutlak atau kesalahan mutlak merupakan dua wilayah, yang secara kodrati, tidak pernah bisa dijangkau oleh manusia dengan akal-budi nya yang nisbi. Oleh sebab itu, seburuk-buruk dan sebodoh-bodoh manusia tidak boleh membuat kita kehilangan sama sekali kepercayaan kepadanya. Sebaliknya, sebaik dan sehebat apa pun manusia tidak boleh membuat kita memutlakannya. Beredar diantara kebenaran mutlak dan kesalahan mutlak, atau dengan kata lain,beredar dalam daerah kebenaran dan kesalahan nisbi. Itulah daerah wewenang manusia sebagai khalifat Tuhandengan potensi akal-budinya. Dengan demikian, sikap yang proporsional kepada manusia (akal-budinya) bukan ketidak percayaan, melainkan kewaspadaan, atau dalam istilah teknisnya, kritik.Musyawarah seperti dianjurkan al-Qur’an (al-Syura[42]:38), merupakan metode mencari kebenaran yang mengandung keseimbangan antara keduanya, kewaspadaan dan sekaligus kepercayaan terhadap akal-budi manusia.
Shadaqallah al-‘Adhim..[].

Tidak ada komentar