RE-EPISTEMOLOGI PEMAHAMAN ISLAM (Bagaimana Memahami Islam)
T
|
ERCATAT sebuah pertanyaan sederhana, “Apakah boleh orang mendiskusikan
agama, dalam hal ini Islam?
Pertanyaan ini muncul karena umumnya diyakini bahwa Islam
merupakan sistem ajaran yang sudah lengkap, paripurna dan tidak kurang suatu
apa. Tidak ada satu persoalan pun, besar
maupun kecil, yang mencolok maupun yang remang-remang, yang belum ada
jawabannya. Semuanya telah sempurna sebagaimana ditegaskan Allah dalam
al-Qur’an,
“Alyauma
akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati wa radlitu lakum al-Islama
dina/Pada hari ini telah Aku lengkapkan bagimu agamamu, dan Aku sempurnakan
atasmu nikmat dari-Ku, serta Aku restui bagimu Islam sebagai agamamu.” (QS
AL-Ma’idah [5]: 3)
Berdasarkan ayat
ini, kiranya bisa dimengerti jika orang berpendirian bahwa yang tersedia bagi
umat Islam berkenaan dengan agamanya tinggal satu pilihan saja, yaitu
mengamalkan apa yang menjadi ketentuan agamanya. Tidak perlu lagi diskusi, halaqah
atau sarasehan. Sebagai peroses pencarian, diskusi hanya relevan untuk
persoalan yang masih belum final, masih di tawar-tawar. Padahal, sebagaimana
ditegaskan dalam ayat diatas, segala sesuatu yang berkaitan agama sudah
disempurnakan adanya.
Bagaimana kita
menanggapi pandangan seperti ini? Pertama-tama kita perlu menggaris-bawahi bahwa Islam sebagai ‘al-din’, atau dalam bahasa kita agama, memang
sudah kamil, sempurna dan paripurna. Selain dinyatakan oleh al-Qur’an
dalam surah al-Ma’idah tadi,
dalam ayat lain juga disebutkan bahwa disana (al-Qur’an)
tersedia penjelasan untuk segala hal,
“Wanazzalna
‘alaika al-kitaba bi al-haqq tibyanan likulli syai/Dan kami turunkan
kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS: al-Nahl [16]:89).
Kalau begitu,
kenapa kita masih juga mendiskusikan, masih melakukan pencarian, masih perlu halaqah
atau sarasehan soal agama? Bukankah “ijtihad” yang dilakukan oleh para ulama
terkemuka bahkan sejak zaman sahabat NabiMuhammad SAW,
adalah bentuk pencarian yang paling serius? Mengapakah mereka masih saja
melakukan ijtihad? Apakah kita bisa menuduh para ulama yang berijtihad sebagai
orang-orang yang tidak percaya terhadap kesempurnaan Islam. Fakta bahwa disatu
pihak para ulama berijtihad dan dilain pihak ada ayat yang mengatakan al-Qur’an
sudah sempurna, bisa membuat tanda tanya; haruskah salah satu diingkari? Islam
sempurna atau kita berijtihad?”
Guna melepaskan
diri dari pertanyaan-pertanyaan dikotomis tadi, ada dua hal yang boleh kita
sepakati. Pertama,kesempurnaan ajaran al-Qur’an seperti ditegaskan
diatas, bukanlah pada tataran teknis yang bersifat detail, terperinci dan juz’iyyah-nya,
melainkan pada tataran prinsipil dan fundamental. Kedua, ajaran-ajaran
prinsipil yang dimaksud dalam al-Qur’an, selaku kitab suci agama, adalah ajaran
spiritualitas dan moral, ajaran tentang mana yang baik (dan
mana yang buruk) untuk
kehidupan manusia sebagai hamba Allah yang berakal-berbudi.
Sebagai hudan
atau acuan moral dan etik yang bersifat dasariah,
al-Qur’an sepenuhnya sempurna, tidak kurang suatu apa. Persoalan apapun yang
muncul dalam kehidupan manusia yang dinamis dan terus berubah bisa dicarikan
jawabannya (dari sudut moral) dengan
mengembalikan pada ajaran al-Qur’an yang
prinsipil tadi. Inilah yang dimaksud bahwa al-Qur’an merupakan kitab sempurna
yang menjelaskan segala hal. Jadi, jangan sekali-kali kita bayangkan bahwa
kesempurnaan al-Qur’an harus dibuktikan dalam kemampuannya menjawab persoalan juz’iyyah(partikular)
apalagi yang bersifat teknis-operasional.
Lagi pula,
penjelasan moral atau etik yang tersedia dalam al-Qur’an tidak selalu bersifat
terapan terhadap semua kasus etik yang terjadi dalam kehidupankita. Mengapa?
Karena al-Qur’an sendiri bukan kamus atau ensiklopedia. Sehingga untuk
menangkap petunjuk al-Qur’an atas persoalan-persoalan etik yang kita hadapi
dalam kehidupan nyata, lebih dulu kita harus mengenali prinsip-prinsip
universal yang dicanangkannya. Ikhtiar mempersambungkan prinsip ajaran yang
bersifat universal pada kasus-kasus kehidupan yang juz’iyyah itulah yang
disebut ‘ijtihad’, yang harus dipikul oleh ketajaman nalar dan kejujuran hati
manusia sebagai hamba-Nya. Dalam hasil ijtihad (sebagai
proses intelektual untuk menurunkan ketentuan universal pada kasus-kasus yang
bersifat partikular sekaligus kerangka teknis-operasionalnya)
itulah yang disebut fiqh.
Qath’iy dan Dhanniy
Yang sering luput
dari pengamatan kita adalah baik dalam al-Qur’an atau al-Hadits, dua jenis
keputusan atau ajaran (yang universal
atau partikular) ada disana.
Pembedaan ini penting supaya kita tidak terjebak untuk memutlakkan semua
ketentuan yang ada disana. Ajaran yang universal dan mengatasi dimensi ruang
dan waktu (mutlak) itulah yang disebut al-Qur’an sendiri (Ali Imran [3]: 7)
dengan istilah “muhkamat”, atau meminjam bahasa ushul al-fiqh
disebut qath’i. Sementara yang bersifat juz’iyyah(partikular dan
teknis-operasional), yang karenanya terkait dengan ruang dan waktu, disebut “mutasyabihat”
atau “dhanniy”.2
Setahu saya konsep
qath’iy dan dhanniy selama ini tidak begitu. Qath’iy
adalah ajaran (dalam al-Qur’an atau hadis sahih) yang dikemukakan dalam teks
bahasa yang tegas (sharih), sedangkandhanniy merupakan ajaran
yang dikemukakan teks bahasa yang tidak tegas, yang ambigu atau bisa diartikan
lebih dari satu pengertian.”3 Inilah konsep yang telah membuat
pemahaman keagamaan kita terlalu harfiah dan pada akhirnya membuat fiqh
kehilangan watak dinamisnya”.
“Yang pertama,
ajaran qath’iy ajaran yang bersifat prinsip dan absolut, sebutlah
misalnya ajaran-ajaran tentang kebebasan dan pertanggungjawaban individu4;
kesetaraan manusia (tanpa memandang
perbedaan kelamin, warna kulit, atau suku bangsa)
dihadapan Allah5Juga ajaran
tentang keadilan6; persamaan manusia didepan hukum7;
tidak merugikan diri sendiri dan orang
lain8; kritik dan kontrol sosial9; menepati janji dan
menjunjung tinggi kesepakatan10; tolong-menolong untuk kebaikan11; yang kuat melindungi yang lemah12;
musyawarah dalam hal urusan bersama13; kesetaraan suami-istri dalam
keluarga14; dan saling memperlakukan dengan makruf (mu’asyarah bil al-makruf)
diantara mereka berdua.15
Semua
ajaran-ajaran ini bersifat prinsipil dan fundamental; kebenaran dan
keabsahannya pun tidak memerlukan argumen diluar dirinya. Nila-nilai tersebut
tadi membenarkan dan mengabsahkan dirinya sendiri. Sebutlah sebagai misal
‘menepati janji’ atau ‘berbuat adil’. Secara moral kita semua terikat kepadanya
bukan karena alasan atau pertimbangan apapun, melainkan karena pada dasarnya
akal budi manusia ditakdirkan menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran sebagai
prinsip hidupnya.
“Prinsip keadilan
serta prinsip memperlakukan antara suami-istri dengan makruf, misalnya,
tidak terikat oleh ruang dan waktu; dimanapun dan dalam keadaan bagaimanapun, keadilan
dan mu’asyarah bi al-makruf antara suami-istri mutlak harus ditegakkan.
Kalau di kalangan para ulama fiqh ada istilah ajaran qath’iy, yaitu
ajaran agama yang tidak memerlukan ijtihad, maka ajaran-ajaran yang beginilah
yang paling tepat disebut qath’iy. Tak seorangpun perlu berijtihad untuk
mengetahui hukum (:status etik)-nya menegakkan keadian diantara sesama dan
menjalankan mu’asyarah bi al-makruf dalam kehidupan keluarga. Kebenaran
ajaran yang bersifat kategoris itu sangat gamblang bagi siapapun, dimanapun, dan kapanpun.
Jadi, yang dimaksud dengan ajaran qath’iy adalah
ajaran-ajaran agama yang berupa nilai-nilai universal, fundamental? Ya, tidak
bisa lain. Termasuk ajaran qath’iy adalah ketentuan-ketentuan normatif
dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi tentang baik-buruk, dan halal haram.
Kemudian, kategori
yang kedua adalah dhanniy. Dhanniy secara harfiah berarti persangkaan atau hipotesis, yang merupakan
kebalikan dari yang qath’iy(kategoris).
Yakni ajaran agama baik dari al-Qur’an maupun Hadits Nabi yang bersifat jabaran
(implementatif)
dari prinsip-prinsip yang muhkam atau qath’iy dan universal tadi.
Ajaran yang dhanniy ini tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri,
tidak self evident dalam bahasa filsafatnya.
Karena itu, berbeda dengan yang qath’iy, ajaran dhanniy terikat
oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi. Misalnya, tadi telah disebutkan
bahwa salah satu prinsip yang harus ditegakkan adalah ‘keadilan’, dimana,
setiap orang harus dijamin hak-hak asasinya sebagai manusia.
Dalam khazanah
pemikiran Islam, hak-hak dasar manusia yang wajib di lindungi itu
sekurang-kurangnya ada lima. Yakni, (i) hak hidup (hifdh al-hayah); (ii)
hak berkeyakinan/beragama (hifdh al-din); (iii) hak berfikir termasuk
didalamnya berpendapat (hifdh al-‘aql); (iv) hak atas sarana kehidupan
atau properti (hifdh al-mal); dan (v) hak untuk berketurunan (hifdh
an-nasl)16. Dari yang lima ini bisa diperluas atau diperinci
lebih detail lagi.
Sementara itu,
dalam realitas sosial tidak semua orang dapat terpenuhi atau mampu memenuhi
hak-haknya. Hal itu terjadi karena adakecenderungan abadi.
Dimana sebagian
orang mengambil terlalu banyak dengan akibat orang lain tidak kebagian, atau
kebagian terlalu sedikit.Dari fakta inilah maka diandaikan adanya pihak ketiga
yang memiliki kekuatan lebih dan mampu memaksa orang-orang yang telah mengambil
terlalu banyak agar bersedia mengembalikan hak-hak mereka yang tidak kebagian.
Kekuatan pihak ketiga itulah yang dikonsepsikn oleh Islam
dengan hukumah, imarah atau pemerintahan. Sampai disini, perihal
mutlaknya ditegakkan keadilan dan perlunya pemerintahan yang efektif sebagai
instrumennya, kiranya semua orang bisa sepakat, inilah hal qath’iy,
niscaya, dan tidak lagi memerlukan ijtihad.
Selebihnya,
tentang apa yang kita maksudkan dengan ‘keadilan’ dalam konteks ruang dan waktu
tertentu serta bagaimana bentuk pemerintahan yang harus kita bangun untuk
mewujudkannya, semua itu adalah persoalan dhanniy, persoalan ijtihadi
yang bisa berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain,
antara suatu waktu dengan waktu lain. Dengan demikian, dari sudut pandang
Islam, suatu sistem pemerintahan (sebagai perkara dhanniy, ijtihadi)
hanya bisa dihukumi baik atau buruk pada kenyataan sejauh mana ia memenuhi
tanggungjawabnya untuk menegakkan keadilan tadi. Apapun nama dan label sebuah
pemerintahan, sejauh mampu memenuhi tuntutan keadilan bagi segenap rakyatnya,
terutama yang lemah dan tidak kebagian,
dalam pandangan Islam adalah sah dan perlu didukung. Sebaliknya, apapun nama
dan labelnya jika dalam kenyataannya justru mengingkari hak-hak rakyat lemah
dan mengabaikan tuntutan keadilan, pemerintahan yang demikian itu adalah
‘batal’ dan harus dikoreksi.
Contoh lain, sebut
misalnya prinsip perlindungan atas pemilikan yang sah (hifdh al-mal). Dari ajaran
yang qath’iy ini lahir ketentuan normatif tentang haramnya mencuri dan
sekaligus perlunya hukuman yang berat atas pencurian. Terhadap kedua prinsip
ini, perlindungan hak pemilikan yang sah dan haramnya mencuri, semua orang
apapun keyakinan dan suku bangsanya bisa sepakat. Tapi, menyangkut bagaimana pelanggaran hak (pencurian)
bisa ditekan seminimal mungkin, hukuman semacam apa yang perlu dikenakan agar
penyerobotan (pencurian) hak tidak
gampang terjadi, diantara kita bisa berbeda pendapat. Inilah masalah dhanniy,
atau ijtihadiy yang menjadi porsinya fiqih. Dalam salah satu ayatnya,
al-Qur’an menetapkan ‘hukum potong tangan’ atas pencuri, sementara pihak lain
bisa saja mengatakan sanksi ‘potong tangan’ itu terlalu keras, atau malah
kurang keras.Jadi hukum potong tangan itu dhanniy? Bukan qath’iy?
Dan karna itu tidak mutlak?
Menurut harfiahnya, ayat hukum potong tangan (QS al-Ma’idah [5]:38)
itu dikenakan atas pencuri laki-laki maupun perempuan, tanpa memilah-milah
dalam keadaan apapun. Akan tetapi, nyatanya Rasulullah sendiri kemudian memberi
catatan: ‘apabila pencurian itu melebihi sepuluh dirham’17. Dan,
kemudian, ditangan Khalifah Umar r.a. diberi catatan lagi: ‘tidak untuk
memperkaya diri.’ Artinya, jika
pencurian dilakukan karena terpepet,
misalnya karena kelaparan yang berat, maka hukum potong tangan pun bisa diubah,
dengan hukuman bentuk lain, atau bahkan dibebaskan sama sekali18.
Ijtihad Umar r.a. ini persisnya ketika dua orang budak milik Habib
bin Abi Bhaltha’ah mencuri seekor unta tetangganya. Ternyata dari penyidikan
diketahui bahwa pencurian itu terpaksa dilakukan karena mereka diterlantarkan
oleh majikannya. Maka Khalifah Umar pun memutuskan membebaskan budak-budak itu
dari tuntutan hukum bahkan majikanlah yang diharuskan menggantinya sebesar 400
dirham.
Dengan demikian, jelas bagi kita bahwa mutlak (qath’iy)
adalah prinsip perlindungan pemilikan (property) yang sah dan haramnya mencuri
sebagai pelanggaran terhadap pemilikan yang sah itu. Yang demikian ini berlaku
di zaman manapun dan dalam masyarakat apapun. Orang jawa misalnya, baik
kalangan muslim maupun yang non-muslim, secara turun-temurun, mengenal molimo(m-5)
sebagai pelanggaran moral: Madon(zina), main (judi),
madat (mabuk/minum keras), maling (mencuri), dan mateni (membunuh). Semuanya itu adalah kejahatan dan pelanggaran moral yang tidak
pernah dibenarkan oleh siapapun, bahkan oleh si pelanggarnya sendiri.
Dalam hubungannya dengan kejahatan ‘mencuri,’ hukum potong tangan
hanya merupakan upaya praktis yang diduga efektif untuk membuat jera si pencuri
dan sekaligus membuat orang lain untuk berpikir seratus kali untuk berbuat
kejahatan serupa. Sebagai ajaran yang bersifat teknis,hukum potong tangan tentu
saja bersifat dhanniy, hipotesis. Tidak semua orang bisa sepakat bulat perihal kelaikan dan efektivitas potong
tangan sebagai cara mencegah pencurian, seperti disebutkan di atas, seperti sepakatnya semua orang atas haramnya mencuri. Bahkan
kenyataannya, seperti disebutkan
diatas, dalam pemikiran Islam sendiri,
tidak semua pencuri dalam keadaan apapun harus dipotong tangannya.
Inilah cara memahami hukum Islam
yang menurut saya lebih bisa
dipertanggungjawabkan. Cara memahami Islam
secara dinamis dan berstuktur dengan
mengacu pada prinsip-prinsip dan fundamental
ajaran, baru kemudian kita turun pada tataran ajaran yang bersifat
jabaran dan operasional. Dengan pendekatan seperti ini secara konsisten kita
bisa menjunjung tinggi nilai-nilai dasar agama yang universal dan mengatasi
dimensi ruang dan waktu, tanpa perlu terpasung pada kebekuan hal-hal yang
bersifat teknis, instrumental dan kondisional.
Yang jelas, ketentuan-ketentuan agama yang dalam fiqh disebut
sebagai ketentuan hukum (kecuali
ketentuan etik-normattif tentang baik buruk, halal dan haram),
adalah dhanniy. Karena sifatnya dhanniy, relatif, ia terikat oleh
dimensi ruang dan waktu. Karena itu hukum potong tangan bagi pencuri, lempar
batu bagi pezina, presentase pembagian waris, monopoli hak talak bagi suami,
keterlibatan wali di dalam nikah, dan ketentuan-ketentuan teknis lain yang
bersifat non-etis, masuk kategori yang dhanniy ini.
Jadi, ketentuan-ketentuan itu, bukan saja bisa dimodifikasi,
disesuaikan, tapi telah dilakukan oleh para ulama terdahulu. Dan dalam
al-Qur’an sendiri relativitas ajaran/hukum atau syari’at yang bersifat teknis
ini diakui dengan begitu jelas.
“Likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhaja/Untuk
tiap-tiap umat diantara kalian, Kami
berikan syari’at dan dan jalan yang terang.” (QS
Al-Ma’idah [5]: 48).
Apa pendirian
seperti itu tidak mendorong pada relativisme yang berlebihan? Maksudnya, kalau
semuanya bisa berubah, lalu acuan kita apa?
Persoalannya
memang tidak sederhana, tidak hitam putih.Seperti juga ajaran Islam tidak hitam
putih. Islam adalah titik keseimbangan antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri.
Dalam konteks perbincangan kita, Islam
adalah titik keseimbangan antara kecenderungan ‘serba pasti’ (absolitisme) di
satu pihak dan kecenderungan ‘serba tidak pasti’ (relativisme) dipihak lain.
Al-Qur’an mengidealkan umat Islam sebagai umatan wasatha’ yakni umat
yang seharusnya mampu mengikhtiarkan keseimbangan antara dua ekstrema-ekstrema
tadi (QS Al-Baqarah[2]: 143).
Tapi memang, menemukan
dan bertahan dalam titik keseimbangan tidak gampang; umumnya orang cenderung
menghambur keujung kanan atau keujung kiri. Umat Islam,
khususnya dalam memahami ajaran agamanya, terus terang rata-rata telah terjatuh
pada ekstrem kanan, dalam arti menuntut segala sesuatu harus serba pasti. Bias
kehati-hatian (ikhtiyat),
konservatifitas berlebihan yang banyak dianut kalangan fuqaha kita berperan
besar dalam hal ini. Sehingga banyak hal yang sebenarnya tidak pasti,
seperti hasil ijtihad para ulama pun diberi
hukum yang pasti. Akhirnya kita pun terperangkap pada keharusan memilih dua hal
yang sama-sama tidak masuk akal dan naif. Yakni, segala sesuatu harus serba
pasti, atau tidak ada yang pasti sama sekali. Padahal yang sebenarnya terjadi,
dan ini alami sesuai dengan hukum keseimbangan dalam titah Allah, bahwa dibalik
perubahan sebenarnya ada kepastian; dan diluar kepastian ada perubahan.
Maka,
kembali pada pertanyaan tadi, dibalik ketentuan-ketentuan
teknis-operasional
dalam bidang sosial-muamalah yang
berubah dan dinamis, jelas ada yang bersifat ‘tetap
dan qhat’iy’, yakni prinsip
keadilan dan kemaslahatan.
Oleh sebab itu,
bahasa yang tepat untuk menggambarkan perubahan (yang mengacu pada standar
nilai yang tetap, qhat’iy) bukanlah kesemrawutan, melainkan gerak atau
dinamika.
Maksudnya, seperti
hukum potong tangan dan aturan syari’at yang bersifat teknis lainnya, bukan
berarti harus kita ubah setiap saat semata-mata karena kita memutlakkan
perubahan. Yang ingin saya katakan adalah bahwa perubahan atas
ketentuan-ketentuan syar’iy (baik dari al-Qur’an maupun dari Sunnah
Rasul, dan apalagi ijtihad ulama) yang bersifat teknis secara teoritis ‘bisa’
--bukan ‘harus’!
Persoalan kapan ia
disesuaikan atau dipertahankan persis sebagaimana petunjuk harfiahnya, sepenuhnya
bergantung
pada pertimbangan kita juga. Jika dalam perhitungan akal-budi kita,
ketentuan-ketentuan itu (misalnya potong tangan) masih bisa menjamin tujuan
hukum, yakni keadilan dan kemaslahatan,dibanding dengan pilihan teknis yang
lain (seperti memenjarakan di LP), maka biarlah ketentuan itu kita pertahankan.
Sebaliknya, jika hukuman itu, karena kondisi dan situasi tertentu, dirasa
kurang mencerminkan cita keadilan/kemaslahatan, maka seharusnya kita bisa
sesuaikan, kita modifikasi. Dengan demikian, keputusan untuk mempertahankan
atau mengubah, tidak bisa kita lakukan semata-mata dengan argumen apriori,
tetapi harus digunakan pertimbangan akal-budi, yakni kemaslahatan dan rasa
keadilan yang bisa kita bicarakan dan sepakati bersama melalui musyawarah
secara demokratis, jujur, setara dan terbuka.
Saya bisa
mengerti, bahwa dengan segera akan muncul kekhawatiran terhadap kemampuan
akal-budi manusia dalam menentukan mana yang adil, mana yang kurang adil, mana
yang benar dan mana yang tidak benar. Akan tetapi, inilah kekhawatiran klasik
yang muncul dari ambivalensi yang keterlaluan tentang manusia, antara
kecenderungan untuk mengidealisasikan manusia untuk selalu berbuat benar, dan
kecenderungan mendiskreditkan manusia dengan menuduhnya sebagai makhluk yang
selalu saja berbuat salah. Seperti kita rasakan bersama, ambivalensi adalah
refleksi dari ketidak percayaan yang mengendap dibawah sadar terhadap potensi
akal-budi manusia yang selalu dikhutbahkan oleh kalangan penguasa doktrin
agama-agama.
Pada dasarnya, para pemuka agama
tahu, bahwa kepercayaan pada potensi akal-budi
manusia merupakan satu prinsip yang fundamental. Kedatangan firman atau wahyu
Tuhan sendiri, pada dasarnya, merupakan affirmasi atas kemampuan akal-budi
manusia dalam membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang haq dan yang
bathil (al-Syams [91]: 9). Akan tetapi, demi mempertahankan otoritasnya, para pemuka agama
telah memutar-balikan logika, dengan megatakan,
bahwa firman Tuhan datang justru karena
akal-budi manusia yang tidak bisa lagi diandalkan. Hanya dengan firman, bukan
dengan akal-budi, manusia yang bisa
diselamatkan. Dan, karena dalam
kenyataan teologis, firman, kini ditangan mereka, maka secara
praktis-sosiologis, penyelamatan pun di klaim hanya bisa dilakukan oleh mereka.
Sehingga proses penyelamatan yang semula memusat pada akal-budi yang di perkuat
oleh firman, kini bergeser ketangan para agamawan dengan memperalat firman.
Mengacu pada
al-Qur’an, anggapan yang mendiskreditkan (akal-budi)
manusia tidak-lah pada tempatnya (al-Rum[30]:30).
Manusia, memang bukan makhluk yang serba benar, tapi bukan pula makhluk yang
hanya bisa berbuat kesalahan. Kebenaran mutlak atau kesalahan mutlak merupakan
dua wilayah, yang secara kodrati, tidak pernah bisa dijangkau oleh manusia
dengan akal-budi nya yang nisbi. Oleh sebab itu, seburuk-buruk dan
sebodoh-bodoh manusia tidak boleh membuat kita kehilangan sama sekali
kepercayaan kepadanya. Sebaliknya, sebaik dan
sehebat apa pun manusia tidak boleh membuat kita memutlakannya. Beredar
diantara kebenaran mutlak dan kesalahan mutlak,
atau dengan kata lain,beredar dalam daerah kebenaran dan kesalahan nisbi.
Itulah daerah wewenang manusia sebagai khalifat Tuhandengan potensi akal-budinya.
Dengan demikian, sikap yang proporsional kepada manusia (akal-budinya) bukan
ketidak percayaan, melainkan kewaspadaan, atau dalam istilah teknisnya,
kritik.Musyawarah seperti dianjurkan al-Qur’an (al-Syura[42]:38), merupakan
metode mencari kebenaran yang mengandung keseimbangan antara keduanya,
kewaspadaan dan sekaligus kepercayaan terhadap akal-budi manusia.
Shadaqallah al-‘Adhim..[].
Post a Comment