RE-EPISTEMOLOGI PEMAHAMAN ISLAM
1
Membangun Teori Etika Sosial
(Fiqh Ijtima’iy) Islam
oleh; KH. Masdar Farid
S
|
EBAGAI disiplin etika keagamaan, fiqh merupakan ilmu yang cukup tua,
lebih dari 13 abad. Dengan konsep epistemologi dan metodologinya sendiri, ilmu
fiqh ini tumbuh menjadi ilmu yang paling berpengaruh di kalangan masyarakat
melebihi cabang-cabang ilmu (keislaman) yang lain. Inilah terutama, karena
otoritasnya dalam menentukan perilaku masyarakat yang memeluknya. “Fiqh adalah
ilmu yang paling terkemuka yang dapat menunjukan umat kejalan kebaikan dan
ketaqwaan”, demikian dikutip oleh Isma’il al-Zarnuji dalam “Ta’lim
al-Muta’allim”. Untuk waktu yang
sangat lama, juga dikalangan masyarakat Islam Indonesia, yang disebut ulama
Islam tidak lain adalah ulama di bidang ilmu fiqh itu.
Akan tetapi (justru)
dengan pengaruhnya yang begitu kuat, dalam wacana keagamaan Islam,
fiqhlah yang dewasa ini mengalami persoalan paling mendasar menyusul perubahan
fundamental dalam tata kehidupan masyarakat yang didesakkan oleh modernisasi.
Sesungguhnya krisis ini tidak perlu terjadi sekiranya sejak awal fiqh membatasi
wilayah wacananya hanya pada domein etikakehidupan manusia yang bersifat
personal (private) yang memang tidak banyak terpengaruh dengan perubahan
sosial. Akan tetapi sebagai kepanjangan dari ajaran Islam
yang sejak awal bergumul dengan masalah-masalah publik. Maka tuntutan terhadap
elastisitas fiqh dan kemampuannya untuk mengakomodir perubahan menjadi tidak
terelakkan.
Bertolak dari
paradigma keagamaan ortodoks, Imam Syafi’I mempertaruhkan validatas fiqh
sebagai teori etika dan otoritas teks (nash al-Qur’an dan al-Hadits).Apa yang
bisa disebut benar atau baik dalam judgment fiqh hanyalah yang
dinyatakan sebagai demikian oleh teks; dan demikian sebaliknya. Ini berarti
bahwa daerah yang bisa dijamah oleh fiqh tidak akan terlalu jauh dari yang
secara eksplisit diangkat oleh teks ajaran, demikian juga bentuk-bentuk praktis
dari keputusan-keputusan fiqh tidak akan bergeser dari yang secara yang
eksplisit ditetapkan oleh teks ajaran (nash).
Sementara itu,
diketahui bahwa teks tidaklah lahir di ruang hampa; ia selalu terikat atau bahkan
merupakan bagian belaka dari suatu episode (penggalan)proses pergumulan
(sejarah) masyarakat manusia yang terus-menerus berubah, menuju
kesempurnaannya. Akibat dari tarik-menarik yang tidak seimbang antara dinamika
kehidupan manusia disatu pihak dan keterpakuan fiqh pada huruf teks di lain
pihak, muncul krisis mendasar yang terjadi secara simultan: i)Proses
irrelevansi ketentuan-ketentuan fiqh, karena tidak lagi sesuai dengan konteks
sosial kontemporer; ii)Proses marginalisasi (peminggiran) wacana fiqh dari
keseluruhan wacana kehidupan sebagai akibat dari masalah irrelevansi itu
sendiri.
Polemik yang
pernah muncul dan semakin banyak muncul belakangan, seperti soal kedudukan
perempuan dalam rumah tangga (: hak-hak reproduksi perempuan, pembagian waris,
pernikahan, perceraian, dan hak-hak suami-istri), juga dalam masyarakat
(seperti nilai-nilai kesaksian, kerja disektor publik, dan kepemimpinan
perempuan, dan sebagainya), atau perihal kedudukan non-Muslim dalam konteks
negara-kebangsaan (nation state), serta dan ketentuan-ketentuan hukum
lain yang dinilai sudah kadaluarsa (verjaard) seperti hukum perpajakan
(zakat), adalah bukti-bukti kuat dari kemelut dunia fiqh yang dimaksud.
Tidak syak lagi,
bahwa persoalan ilmu apabila sudah menyentuh segi-segi yang mendasar, tidak
bisa lagi dipecahkan secara ad hock dan tambal sulam. Diyakini oleh para
pengkritiknya, persoalan fiqh kini, sudah menyentuh komponennya yang paling
inti, yakni basis “epistemologi”: dari mana bangunan (body of knowledge)
dari fiqh itu sendiri berasal. Epistemologi fiqh yang dikenal dengan ilmu “ushul
fiqh”
yang ada dan berlaku selama ini, merupakan hasil rumusan imam Syafi’i
13 Abad
yang lalu, dalam karya monumentalnya, “Ar-Risalah”.1
Beberapa upaya
perubahan dan perumusan kembali epistemologi dan metodologi fiqh sudah pernah
dilakukan, mulai dari At-Thufiy sampai dengan yang terakhir dan paling banyak
didiskusikan dari Mahmoed Muhammed Thaha dalam ar-Risalah as-Saniyah, yang
kemudian dielaborasi dengan baik sekali oleh muridnya, Abdullah Ahmed An-Na’im
dalam bukunya “Toward an Islamic Reformation”.
Tawaran Mahmoed Thaha ini sangat radikal dan kontroversial. Ia menawarkan jalan
keluar dari kemelut fiqh itu dengan
“membuang” lebih separuh isi al-Qur’an.
Penolakan dan kemarahan besar dari para
pendukung rezim epistemologi konvensional telah mengantarkan Mahmoed Thaha ke
tiang gantungan (1985).
Dengan melihat
secara kritis bentuk-bentuk epistemologi diatas, maka kemudian penting
diketahui pertanyaan-pertanyaan: Bagaimana
dapat dijelaskan segi-segi kelemahan dalam epistemologi fiqh konvensional yang
telah mengakibatkan kemandegan dan
proses irrelevansi fiqh itu sendiri? Sejauh mana kemelut yang terjadi dalam
fiqh itu telah mengundang langkah-langkah reformatif dari kalangan pemikir, dan
sejauh mana langkah-langkah itu telah membukakan jalan dari kemandegannya? Dan,
bagaimana dapat ditawarkan jalan keluar yang lebih masuk akal dan lebih dapat
menjamin dinamika pemikiran fiqh sesuai dengan dinamika masyarakat sendiri? []
Post a Comment